Ilmu Budaya Dasar (Film "Di Timur Matahari")


ILMU BUDAYA DASAR
Nama   : Widiyanti Rahajeng
Kelas   : 1EA23
NPM   : 1C214212
Judul Fim        : Di TimurMatahari
“DI TIMUR MATAHARI”
Pagi itu masih sama seperti pagi biasanya. Matahari terbit di timur. Dan anak-anak kecil di pedalaman Papua masih merindu akan datangnya guru pengganti. Sudah 6 bulan guru pengganti itu tak kunjung datang. Mazmur, salah satu bocah Papua, pergi ke tempat yang merupakan satu-satunya landasan pesawat terbang tapi nihil. Tidak ada pesawat terbang yang mendarat. Mazmur berlari ke kelasnya kemudian berteriak..
“Teman teman… Guru pengganti belum dateng. Mari kita belajar menyanyi saja..” — Mazmur
Dan lagu “… terpujilah wahai engkau ibu bapak guru.. namamu akan selalu hidup dalam sanubariku…” yang dinyanyikan oleh anak-anak papua ini membuka film. Pemandangan awal yang sangat jelas diperlihatkan oleh Alenia Pictures bahwasanya Papua, kekurangan guru dan anak-anak rindu kehadiran guru.
Lalu apa yang dilakukan anak-anak ini di saat mereka seharusnya sekolah? Mereka tetap memakai seragam sekolah dan pergi berlarian kesana-kemari, mencoba mendapatkan banyak pengalaman dan ilmu pengetahuan dari alam.
Sewaktu berlari, Mazmur kecelakaan. Mazmur tertabrak motor Ucok (Ringgo Agus). Disinilah kembali disuguhkan fakta bahwa Papua tidak hanya kurang guru, tapi juga kurang dokter. Dokter satu-satunya bernama dokter Fatimah (Ririn Ekawati). Teknologi pengobatannya pun sederhana.
Karena Ucok menabrak Mazmur, maka ia dikenakan denda. Denda adat mewajibkan Ucok membayar sebesar 50 juta. Setiap pelanggaran di tanah Papua ini dikenakan denda adat. Hukuman hanya berlaku bila yang bersangkutan melanggar hukum.
Pertikaian dimulai akibat adanya orang dari kampung seberang/suku Tibo yang membohongi Blazius (ayah Mazmur) dengan memberikan uang palsu untuk membayar merpati. Blazius yang mengetahui bahwa uangnya palsu, menghajar orang tersebut.
“Kasi tau ko pu teman, sampai ke lubang tikus saya cari! Kita ketemu di kantor polisi!” — Blazius
Rupanya, orang tersebut pergi dan mengadu ke Joseph (ayah dari Agnes, teman Mazmur). Joseph menunggu di jembatan penghubung desa dan membunuh Blazius dengan panahnya. Beruntung Mazmur dapat melarikan diri dengan menceburkan diri ke sungai. Sampai di desa, jenazah Blazius diletakkan di tengah-tengah desa. Elsye, istri dari Blazius, menelepon Michael (adik Blazius yang berada di Jawa).  Michael secepatnya datang bersama istrinya, Vina (Laura Basuki). Sampai di tanah Papua, sebelum jenazah Blazius dimakamkan, Michael berdebat dengan Alex (adik Blazius).
Michael: Alex, adat yang baik tetap dipertahankan. Yang sudah tdak cocok harus kita rubah. Besok kita kuburkan kaka Blas, dan tidak ada perang.
Alex: Michael, mereka harus bayar denda dulu, ini adat!
Michael: Berapa?
Alex: 3 M.
Michael: 3 milyar? Kalau mereka tida sanggup?
Alex: Bukan harga mati, mereka boleh tawar, toh?
Michael: Tuhan.. itu dagang namanya! Saya su bicara sama yang lain, mereka setuju, besok kaka blas dikuburkan.
Kembali fakta berbicara. Kata ‘juta’ dan ‘milyar’ akrab sekali di film ini. Bukan berarti dibuat-buat atau berlebihan, tapi memang kenyataannya di Papua seperti itu. Vina yang tidak bisa makan makanan Papua akhirnya pergi belanja. Dan kaget ketika ibu warung menyebutkan jumlah belanjaan yang harus dibayar: 3,8 JUTA. Padahal dia hanya belanja beras dan minyak goreng.
“Mereka (dari luar papua) kirim kesini mahal biayanya” — kata ibu warung.
Dan konsekuensi tidak bisa membayar denda adat? PERANG. Iya, mengutip kata-kata Alex,
“Ini bukan masalah dendam, tapi ini masalah adat yang sudah ribuan tahun sebelum kamu (Michael) ada! Mata ganti mata, gigi ganti gigi, pipi ganti pipi.”
Sulitnya menembus adat istiadat Papua mampu melahirkan perang antar suku, bahkan perseteruan di antara kakak beradik Mikael dan Alex. Adanya pembakaran Honai, penutupan rumah Michael yang memiliki ‘tampilan’ Jawa, perang suku, dan watak yang keras merupakan pemandangan kontras terhadap keceriaan anak-anak Papua yang ditampilkan di awal.
Melalui Di Timur Matahari ini, tergambar jelas perbedaan antara anak-anak Papua dengan orang dewasa-nya. Di awal terdapat adegan Bapa Samuel (pendeta) mengajarkan kepada anak-anak bahwa minuman keras itu tidak baik dan harus dijauhi. Namun di tempat yang tidak jauh dari Bapa Samuel, terdapat orang-orang dewasa yang minum minuman keras dan browsing gambar-gambar ‘tidak baik’ melalui ponselnya. Begitu pula dengan keadaan Mazmur, Agnes, Thomas, Suryani, dan Yoakim. Ayah-ayah mereka berasal dari suku yang berbeda dan menginginkan perang. Sedangkan mereka berlima bersahabat baik.
“Bagaimana ini bapa, saya masih mau berteman dengan Thomas, Agnes, dan Yoakim.” — Mazmur
Ada satu percakapan yang menarik antara Alex dan Michael sebelum Alex akhirnya memutuskan untuk memilih perang sebagai satu-satunya jalan.
Alex: Adat su banyak dilanggar, Michael
Michael: Tida ada persoalan yang tida bisa selesai dengan kasih, Alex
Alex: Ko sama pendeta Samuel seperti nabi saja
Michael: Saya tida mau berdebat masalah ini. Kalau saya salah, saya minta maaf
Alex: Ah tida, kaka tida pernah salah, itu yang selalu mama banggakan, toh?! Berbeda dengan kami yang sedari kecil tida makan beras jawa
Michael: Mama kasi titip kita ke mama jawa, supaya kita bisa keluar dari sini. Lihat dunia. Tapi ko sama Blas tida mau ikut
Alex: Kenapa ko kawin dengan cina?
Michael: Karena itu ko tida datang? Alex, tida ada satu orang pun yang tau dia akan dilahirkan dari rahim cina, papua, atau jawa!
Alex: Kenapa tida menikah disini?
Michael: Kita semua tau mama sedang dirawat di jakarta, Alex. Apa kita tega, bawa mama naik pesawat berjam-jam?
Alex: Tapi setelah itu meninggal, toh?
Michael: Itu lain persoalan! Dan cuma ko yang tida datang!
Alex: Kenapa mama dikuburkan di jakarta?
Michael: Tuhan! Sebelum meninggal mama minta seperti itu, Alex. Karena dia tahu saya tida punya uang sehabis menikah. Mama terbaring di rumah sakit, yang dia doakan adalah keselamatan ko sama Blas. Ko tau, dia sangat menyayangi kalian.
Sampai kapanpun, perang hanya akan menimbulkan luka berkepanjangan. Perang batin. Tidak akan ada habisnya. Selalu berulang. Pada akhirnya, yang menjadi korban adalah anak-anak.
Ini realita Papua kita. Sebagai orang Indonesia, kita harus tahu dan mulai memikirkan cara memajukan Papua. Masih dalam Indonesia tapi nampak jauh dan jomplang sekali realitanya.
“Gimana Papua gak mau merdeka?” — Vina

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Macam-macam kecemasan manusia menurut Sigmund Freud

Jurnal Etika Bisnis Dalam Multimedia E-Commerce

Ilmu Budaya Dasar (test formatif 2)